“Writers are born,” demikian bunyi pepatah. Tapi apa benar demikian? Bagi para penulis terkenal seperti Shakespeare atau Sidney Sheldon, mungkin pepatah ini benar. Mereka memang dilahirkan untuk menjadi penulis. Atau dengan kata lain, mereka memiliki bakat alami untuk menjadi penulis.
Tapi bagi Anda yang tidak memiliki bakat menulis, jangan putus asa dulu sebab writers can also be made (penulis bisa juga dibuat). Saya bisa berkata begini karena saya telah membuktikannya sendiri. Saya tidak mempunyai bakat menulis. Ketika masih sekolah saya sangat tidak suka pelajaran mengarang. Saya selalu mengalami kesulitan dalam menuangkan gagasan di atas kertas. Urutan pemikiran tidak logis, pemilihan kata (diksi) cenderung monoton dan itu-itu saja, serta sejumlah problema lain yang selalu berdiri menghadang di depan mata. Tidaklah mengherankan kalau guru bahasa Indonesia saya dulu pernah mengkritik karangan saya yang membosankan.
Tetapi semuanya berubah. Tahun 1992 saya pernah diopname di rumah sakit untuk waktu yang lama. Saat di rumah sakit, saya sering membaca surat kabar mingguan yang berisi artikel-artikel dan cerpen yang ditulis oleh pelajar dan mahasiswa. Di antara tulisan-tulisan yang dimuat, ada beberapa yang kualitasnya, menurut penilaian saya, masih jauh di bawah standar. Saat itu saya berbicara dalam hati,”Saya juga bisa menulis seperti itu.” Sejak itu, saya mencoba menulis beberapa artikel dan cerpen di buku catatan saya. Ternyata saya bisa juga menulis walaupun saya tidak tahu pasti bagaimana mutu tulisan saya. Keinginan untuk menulis di media massa mulai timbul walaupun saya belum merasa PD untuk mengajukan tulisan-tulisan saya ke meja redaksi. Beberapa waktu kemudian, ada seorang mahasiswi Akademi Perawat yang sedang praktek di Rumah Sakit Umum Palembang. Ia sering berkunjung ke kamar saya. Ia pun melihat buku catatan saya yang saya letakkan di atas meja di sebelah ranjang saya. Setelah membaca, ia berkomentar,”Tulisan kamu bagus.” Tapi waktu itu saya menjawab,”Ah, tulisan seperti itu tidak bermutu.”
Hari berikutnya, ia datang lagi ke kamar saya. Sambil mengobrol, ia membaca tulisan-tulisan saya yang lain dan berkomentar,”Tulisan kamu bagus, lho.” Saya menanggapinya seperti angin lalu,”Ah, tulisan apaan.” Lalu ia menjawab,”Hen, kamu harus percaya diri dan melihat ke dalam dirimu bahwa kamu mempunyai kemampuan tersembunyi. Coba kirimkan karya-karyamu ke media massa.” Saya masih menanggapi pernyataan gadis cantik berkulit putih itu dengan dingin.
Tapi entah mengapa… sejak itu saya tambah bergairah untuk menulis dan keinginan untuk melihat karya saya tampil di media massa semakin meningkat. Tetapi masih ada satu penghalang: Kurang PD! Apakah tulisan-tulisan saya bermutu? Apakah saya mampu menembus meja redaksi? Dan beberapa pertanyaan lain yang membuat saya seperti mati kutu.
Beberapa hari kemudian mahasiswi Akper itu datang lagi ke kamar saya dan seperti biasa… ia membaca buku catatan saya yang penuh dengan coretan-coretan. Kembali ia memberikan penilaian positif terhadap karya-karya saya. Tetapi seperti biasa pula, saya menanggapinya dengan tidak bergairah. Mungkin karena kesal terhadap sikap saya, ia mengambil pensil dan menuliskan sesuatu pada buku catatan saya. Saya tidak tahu apa yang ditulisnya. Tetapi, setelah ia keluar dari kamar, saya mengambil catatan itu dan membaca kalimat-kalimat yang dituliskannya. Bunyinya sebagai berikut:
Tapi entah mengapa… sejak itu saya tambah bergairah untuk menulis dan keinginan untuk melihat karya saya tampil di media massa semakin meningkat. Tetapi masih ada satu penghalang: Kurang PD! Apakah tulisan-tulisan saya bermutu? Apakah saya mampu menembus meja redaksi? Dan beberapa pertanyaan lain yang membuat saya seperti mati kutu.
Beberapa hari kemudian mahasiswi Akper itu datang lagi ke kamar saya dan seperti biasa… ia membaca buku catatan saya yang penuh dengan coretan-coretan. Kembali ia memberikan penilaian positif terhadap karya-karya saya. Tetapi seperti biasa pula, saya menanggapinya dengan tidak bergairah. Mungkin karena kesal terhadap sikap saya, ia mengambil pensil dan menuliskan sesuatu pada buku catatan saya. Saya tidak tahu apa yang ditulisnya. Tetapi, setelah ia keluar dari kamar, saya mengambil catatan itu dan membaca kalimat-kalimat yang dituliskannya. Bunyinya sebagai berikut:
5 Desember ‘92
Banyak yang bisa dilakukan, daripada kamu diam-diam lebih baik lakukan suatu hal yang bermanfaat. Saya tidak tahu entah apa yang bermanfaat bagi kamu. Saya pikir, kamu mungkin dapat memilih sesuatu yang bisa memberikan manfaat bagi kamu selama kamu di sini.
Saya yakin kamu pasti tidak mau dibilang remaja pasif. Sayang sekali… Kamu punya potensi. Hanya saja kamu malas dan malu untuk mengakui. Kenapa tidak? Saya pikir kamu bisa membuat suatu cerpen, artikel dan kamu kirim ke majalah. Kamu tidak sakit kan…?
Saya tidak tahu, apakah kamu marah atau tersinggung. Yang penting aku harus ngomong. Kalau mau marah… marahlah pada saya. Jangan pada orang lain.
Yuk… kutunggu tulisanmu di majalah!
Saya begitu terkesima membaca goresan tersebut. Saya tidak marah atau tersinggung sama sekali karena saya pikir kritikan dia sangat objektif, kena sasaran, dan tersirat adanya tantangan yang harus saya jalankan. Dia benar, hati saya bergumam. Bukankah saya memang ingin menjadi penulis? Lalu timbul keteguhan dalam hati untuk mewujudkannya. Saya harus bisa menaklukkan tantangan itu dan membuktikan kepadanya bahwa saya memang benar-benar mampu seperti pandangannya.
Saya pun mulai memberanikan diri untuk mengajukan karya-karya saya di surat kabar. Teman saya Hasan H.D. sering membantu saya mengeposkan surat-surat saya ke redaksi. Tetapi, ternyata hal itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Karya-karya saya tidak dimuat. Saya belum patah semangat. Saya terus menulis artikel, puisi dan cerpen, baik yang berbahasa Inggris maupun berbahasa Indonesia. Namun Dewi Fortuna masih belum berpihak pada saya. Saya tidak juga melihat karya saya tampil di media massa.
Pada April 1993, seorang teman bernama Irawan datang ke rumah saya dan berkata,”Hen, selamat ya!” “Selamat apaan?” tanya saya penasaran. “Itu tu… puisi kamu terbit,” Irawan menunjuk majalah yang dibawanya. Saya langsung membaca majalah berbahasa Inggris itu. Hati saya begitu girang dan terharu karena saya melihat puisi berbahasa Inggris saya yang berjudul “Endless Suffering” tampil di salah satu halaman. “Terima kasih, ya Allah. Aku berhasil mewujudkan impianku,” demikian bisik hati saya.
Ketika saya hendak check-up ke rumah sakit, saya membawa majalah itu. Saya menoleh ke kanan dan ke kiri, ingin mencari kalau-kalau mahasiswi Akper itu ada. Saya ingin menunjukkan kepadanya bahwa saya telah lulus dari tantangan itu dan saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam karena dorongan semangat darinya telah berhasil mewujudkan impian saya untuk menjadi penulis. Tetapi sayang sekali, saya tidak melihatnya. Sejak ia menuliskan goresan di buku catatan saya, saya tidak pernah lagi bertemu dengannya. Saya tidak tahu dimana dia berada. Kalau ada pembaca yang mengetahui tentang dia, tolong informasikan kepada saya. Ia mahasiswi Akademi Perawat Depkes Palembang, masuk pada 1991. Kalau tidak salah, namanya Agustina. Ia berasal dari Belitung. Hingga sekarang goresan kata-kata darinya yang membangkitkan semangat masih saya simpan dengan rapi.
Sejak penerbitan puisi pertama saya, saya makin giat menulis. Beberapa bulan kemudian puisi berbahasa Inggris saya yang lain pun terbit. Hari demi hari saya terus mengasah kemampuan menulis dengan banyak berlatih dan membaca karya orang lain. Saya juga membaca buku-buku panduan menulis karya The Liang Gie, Eka Budianta, Slamet Suseno, dan penulis-penulis terkenal lainnya. Selain sebagai panduan, buku-buku itu bisa menjadi pemacu semangat agar terus menulis.
Saya pun mulai mengisi artikel, puisi, dan cerpen di beberapa majalah dan koran, baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris. Namun kebanyakan karya saya ditulis dalam bahasa Inggris. Selama 1995-2000 saya mulai populer. Ratusan penggemar dari seluruh Indonesia mengirimkan suratnya ke alamat saya. Hampir tiap hari Pak Pos datang membawa surat penggemar. Di antara para penggemar itu ada yang bertanya tentang materi yang saya tulis, ada yang ingin menjadi sahabat pena (dulu internet belum populer), ada yang ingin bertemu, dan ada juga yang mengajak menikah.
Sejak tahun 2000 saya mulai jenuh menulis di media massa. Saya mendambakan sesuatu yang lebih besar. Kebahagiaan seorang penulis adalah ketika ia sudah berhasil melangkah ke tangga yang lebih tinggi. Ya… saya harus menapaki tangga yang lebih tinggi itu, yaitu menulis buku. Saya harus bisa!
Saya pun mulai menggarap buku dan mengajukan ke penerbit, tetapi saya kecewa sekali ketika mendapatkan surat penolakan yang berbunyi,”Maaf, kami tidak bisa menerbitkan naskah Anda. Naskah buku Anda kualitasnya baik, tetapi pemasarannya susah.” Saya mencoba menulis buku lain dan mengajukannya ke penerbit lain. Hasilnya nihil alias ditolak.
Saya mulai belajar dari pengalaman. Buku yang bisa diterbitkan biasanya adalah buku yang bermutu dan memiliki prospek pemasaran yang baik. Tahun 2002 saya menggarap buku komputer karena menurut pertimbangan saya, dunia komputer sedang naik daun. Jadi, buku-buku komputer sangat dibutuhkan. Saya menulis naskah buku yang berjudul “Penuntun Praktis Mengetik dengan Komputer”. Lalu saya ajukan ke sebuah penerbit di Jawa Tengah. Dalam waktu dua minggu saya sudah mendapatkan kabar bahwa buku itu akan diterbitkan. Saya begitu senang karena cita-cita saya untuk menjadi penulis buku tercapai. Buku itu pun akhirnya terbit dengan judul “Belajar Praktek Sendiri Mengetik dengan Komputer”. Sebenarnya saya kurang suka dengan penggantian judul yang dilakukan oleh penerbit karena kata-katanya kurang enak didengar telinga. Tapi ya… biarlah karena masih pengalaman pertama.
Selanjutnya, tahun 2003 saya mulai mengajukan naskah buku yang berjudul “English Proverbs and Quotations” ke Penerbit Dioma di Malang. Saya harus menunggu sekitar 3 bulan untuk mendapatkan kabar dapat tidaknya buku itu terbit. Akhirnya, kabar baik pun menghampiri saya. Penerbit Dioma bersedia menerbitkannya. Proses editing memakan waktu beberapa bulan dan buku itu pun mulai dipasarkan pada 2004.
Tahun 2005 dan 2006 saya mengajukan beberapa buku ke beberapa penerbit. Alhamdulillah… empat buku berhasil terbit pada 2006. Buku “Troubleshooting Komputer” diterbitkan oleh Penerbit Puspa Swara Jakarta (Kelompok Trubus). Buku ini berisi cara-cara praktis untuk mengatasi berbagai permasalahan hardware dan software komputer. Materinya kebanyakan saya ambil dari pengalaman saya sendiri ketika memperbaiki komputer saya, komputer teman dan komputer orang-orang lain. Lalu saya mengajukan naskah buku “Himpunan Soal-Soal Tata Bahasa Inggris untuk SLTP” ke Penerbit Apollo Surabaya dan buku ini pun bisa terbit. Tetapi penerbit mengganti judul buku ini menjadi “Cara Pintas Belajar Bahasa Inggris Untuk SLTP Kelas 1, 2, 3” dengan alasan judul ini lebih memiliki nilai jual. Buku berikutnya yang terbit adalah “100 Tanya Jawab Seputar Microsoft Word” dan “Kosakata Tiga Bahasa: Jerman-Indonesia-Inggris”. Keduanya diterbitkan oleh Penerbit Yrama Widya Bandung. Ada lagi naskah buku lain yang akan terbit, tetapi saat ini masih dalam tahap editing oleh sebuah penerbit di Yogyakarta.
Demikianlah perjalanan hidup saya menjadi penulis. Saya tidak pernah menyangka atau bermimpi untuk menjadi penulis karena seperti yang sudah saya uraikan di awal bahwa saya sangat tidak suka menulis dan saya tidak mempunyai bakat. Tetapi dengan kerja keras, sesuatu yang sulit ternyata bisa menjadi mudah dan sesuatu yang tidak mungkin ternyata bisa menjadi mungkin. Kini saya sangat cinta dengan dunia menulis dan saya akan terus menulis hingga akhir hayat saya!
10 comments:
Setelah membaca tulisan ini, saya sangat terharu sekaligus bangga. Tulisan ini juga dapat menggugah semangat saya agar lebih dapat mengembangkan kreativitas saya untuk menulis.
Cerita pengalaman Anda sangat menarik dan bisa menjadi inspirasi bagi para pemula yangi ingin terjun dalam dunia tulis-menulis.
Saya penggemar Anda dan salut dengan Anda... Thanks ya atas karya-karyanya yang bagus.
menurut cerita priadi kak henson saya merasa bahwa sesuatu yang telah anda tidak bisa digapai dengan mudah semua itu butuh perjuangan dan pengorbanan bahkan perasaan kecewa.
saya hanya bisa memberi saran jangan pernah mundur dan teruskanlah apa yang telah dicapai selama ini dan saya yakin pasti masih banyak keinginan-keinginan kak henson yang belum didapat...
sekian terima kasih.
it's an interesting story...n this real story can b my inspiration..u know that sometimes we face the same problem,n your story showed that we musn't give up eventhough it's really hard to solve it.Just do your best n never give up!!!cayo !!!
cerita yang membuat semua yg membacanya mjdi bersemangat utk menemukan kemampuan yg ada didlam diri msg2 orang, termasuk saya, yg selalu berucap ingin mjd penulis tp blm kesampean hehehe,,,, :)
pokoke mas Gambatte kudasai ne Hahaha !!!!
Setiap orang punya pengalaman, dan saya pikir( bukan perasaan saya hehehe) pengalaman ini buat aku semakin ingin mjd org yg punya pengalaman yg sm seperti sir, yg trs menanjak walaupun dgn langkah yg tertatih-tatih :)
Dan kerja keras yang tekun diiringi kesabaran adalah keniscayaan untuk menjemput kesuksesan.
Maksih udah share kisahnya ya Pak. :)
kalau boleh tolong tulis tips di http://www.ezineartikel.com untuk kita di Malaysia. Kami ingin baca pengalaman Henson . TERIMA KASIH
Makasih, Kawan.. Ceritanya luar biasa utk kami!!
Post a Comment